Tag Archives: culture

Exploring Boti Tribe – West Timor

My exploration to the traditional village in Boti made me amazed on the hidden beauty of West Timor. I felt like being thrown to the first half of 20th century

After three-hour bus ride from Kupang, the capital of Nusa Tenggara Timur (NTT) province, I stayed for a night in Soe. The journey to Soe gave me a chance to enjoy the beautiful scenery of central Timor that was getting cooler as the road got closer to Soe.

I was lucky to get a room in Pae Nope’s homestay. Pae Nope also recommended his friend to me for being my guide to this village.

Eventually I arrived in the village after going through a long bumpy winding road in the hill near Boti. I was fortunate to come in Boti when the elders gathered. They do this every 9th day, the day when they stopped working in the field.

As an independent traveler, I was a bit surprising for the village chief. Well, most visitors both domestic and foreigners are usually in groups.

I noticed that during the gathering the men discussed many things about their village while the women also gathered separately with the kids. To my surprise, the chief of the village was unable to speak Indonesian. The guide as well as the villagers helped me to translate the language though.

It is interesting to see the traditional culture that is truly a part of their life, from the clothes they wear, since they must wear traditional clothes until the local food they serve dto me. Jagung bose (Bose corn) was one of traditional meals served for me.

The traditional fabric they wear are locally made and now they also sell it to visitors coming to the village

The night I spent also provided a nature choir where the sound of insects, cattle, wind and many things became my lullaby. I stayed in a local guesthouse whose house is made of gewang leaves, while in Java traditional houses are made of bamboo or woods.

Too bad, due to the limited time, I was unable to go to their field or doing trekking in their village. Anyway it was indeed such a great trip. If you do want to seek cultural experience, this village in Boti might be a great choice especially if you happen to be in Timor

Hope that you could enjoy the pictures

Note :

– Lopo is the traditional house in Timor

– domestic pig is seemingly so faithful that the animal would follow the master anywhere she goes to

– Make sure that you stop for a while in your trip to Boti since you are able to enjoy the view of the hills


















Jelajah Suku Boti – Timor Barat

Jelajah di Timor Barat? Apa yang menarik? Pertanya

an ini berhenti saat saya putuskan pergi ke Boti, suku asli Timor yang menolak kehidupan modern. Petualangan ini membawa saya seperti pergi ke Timor di awal abad 20 dengan bonu

s pemandangan alam yang menarik dan budaya serta adat Timor yang menarik





Waktu saya bimbang akan tempat penjelajahan di Timor dari Kupang, seorang teman menyarankan saya pergi ke Boti, satu suku asli Timor yang sampai sekarang menolak kehidupan dan agama modern. Suku yang terletak di satu daerah perbukitan di dekat Soe, kota di Timor Tengah Selatan (TTS), ternyata pernah saya lihat di tayangan teve sebelumnya. Akhirnya dengan bertekad bulat disertai rasa penasaran saya dan rasa bingung saudara-saudara, saya putuskan pergi menjelajahi Boti dari Kupang

Penjelajahan

Dengan menumpang satu bus saya berangkat menuju Soe, tempat perhentian sebelum tiba di Boti. Dengan menyusuri jalan berkelok-kelok, semakin lama cuaca terasa makin sejuk karena jalan membawa saya ke daerah perbukitan. Pemandangan perbukitan membuat sejuk di mata. Ternyata Timor bagian tengah terlihat subur dan cuacanya tidak sekering yang saya duga. Saya juga sempat tertawa melihat babi berteriak protes waktu diikat di belakang bus, ingin rasanya keluar dan mengambil gambar si babi malang, sayang tidak sempat. Sempat juga bingung waktu ditanya kesatuan tempat saya bertugas oleh seorang bapak yang duduk di samping saya. Halaaah, saya disangka tentara, hahahahaha.

Setiba di Soe, tugas pertama adalah mencari hotel atau penginapan yang layak dan murah. Dari rencana menginap di Hotel Bahagia, ternyata saya turun di Hotel Bahagia II yang agak jauh dari pusat kota, dan ternyata ada mobil UN diparkir disana, Walah sepertinya staf PBB urusan pengungsi dan Timtim masih ada di sini. Lanjut makan di warung depan hotel nasi campur dan susu kedelai yang hargaya cukup mahal untuk ukuran Timor, karena saya membayar hampir 20 ribu rupiah, Kok tidak jauh beda dengan harga di Jakarta ya?

Karena ingin mencari hotel yang lebih di tengah kota dan berharga lebih murah, saya mencari tukang ojek yang membawa saya berkeliling karena ternyata hotel Bahagia I sudah penuh juga dengan hotel lainnya. Akhirnya kitab suci para pengelana ciptaan Tony Wheeler (tahu kan???) menyebutkan homestay milik Pae Nope. Waktu saya telepon, seorang wanita tua menjawab dan mengatakan kamar mereka kosong, aaaaah aman untuk urusan hotel dan homestay juga terletak di pusat kota jadi mudah mencari makanan serta supermarket. Karena perlu makanan kecil serta keperluan mandi yang kurang, saya berkunjung ke pasar swalayan yang ternyata harganya tidak beda jauh dengan Jakarta.

Pagi-pagi disaat sedang siap-siap sarapan dan mencari info dan pemandu untuk menuju Boti, ternyata Pae Nope, sang pemilik homestay sudah pulang dan mengajak saya masuk ke rumahnya. Kebetulan sekali, selain dia ada pula para pejabat pariwisata di Soe. Wah saya berasa wartawan karena banyak reporter datang ke Boti mencari bahan berita, hahahahaha. Jadi mereka sempat pikir saya wartawan dari Jakarta. Tapi mereka akhirnya menghadiahi saya VCD tentang pariwisata di TTS.

Menuju Boti

Dengan naik motor “lakiâ€? yang dibawa seorang pria bernama Tuan yang dikenalkan Pae Nope, saya mulai perjalanan menuju Boti. Sebelumnya tak lupa makan siang di warung Jawa yang menyajikan makanan murmer dan enak. Jalanan mulus membentang hingga satu simpang sekitar Oenlasi dimana saya membeli minuman dan istirahat sejenak.

Jalan mendadak berubah menjadi sangat terjal, berbukit-bukit yang membuat saya agak repot menahan badan di motor serta ransel di punggung. Untunglah pemandangan alam yang menarik menghibur saya. Setelah melewati beberapa gerbang, saya tiba di perkampungan suku Boti tepatnya di dekat tempat tinggal Kepala Suku Boti.

Tiba di Boti

Ah, saya beruntung sekali, selain pemandu saya ternyata bisa bahasa setempat, ternyata saya datang saat mereka berkumpul secara adat. Adat suku Boti mewajibkan mereka berkumpul setiap hari kesembilan dan disanalah saya berkumpul bersama melihat para tetua pria berbincang-bincang dan para wanita berkumpul untuk menenun. Mereka bahkan datang dari desa-desa yang jauh, bahkan hingga 2 jam untuk berkumpul.

Pakaian orang Boti, meskipun hampir semuanya sudah terbiasa memakai kaus atau kemeja modern tapi mereka tetap teguh memakai kain tradisional melingkari pinggang dan kepala mereka. Kain tradisional yang mereka tenun sendiri tapi ternyata ada juga seorang ibu yang memakai kain batik juga :-P.

Saya sempat kaget ternyata Kepala Suku tidak bisa bahasa Indonesia, untunglah anggota suku lainnya bisa berbahasa Indonesia dan ternyat mereka cukup ramah. Saat melihat buku tamu, walaaah banyak benar tamu mereka dari dalam dan luar negeri. Tapi jarang ada tamu dari Jakarta seperti saya, hehehehe. Sempat saya ditanya kepala suku agar saya tidak takut pergi sendirian ke Boti, walah kalau takut buat apa berangkat. Rombongan yang datang rata-rata berkelompok dan harus memakai mobil khusus 4 WD karena jalan yang aduhai menuju Boti

Malam yang syahdu

Di sore hari para tetua pulang ke rumah masing-masing, suasana makin gelap dan saya baru sadar listrik telah masuk ke rumah kepala suku, yang ternyata disumbangkan dinas pariwisata setempat, tapi tetap saja suara binatang membuat malam terasa lain sekali jauh dari kota.

Pada saat pertama datang, saya tidak berani mencoba sirih. Maklum belum pernah dan takut tidak kuat, akhirnya malah mencoba keripik singkong yang entah mereka beli dimana. Malam itu makan malam terasa nikmat dengan jagung bose, singkong tumbuk, nasi putih, kerupuk dan ayam (kampung) sayur. Saya bahkan suka sekali dengan sambal bubuk mereka yang rasanya enak.

Waktu malam semakin larut, saya sempat berbincang panjang lebar dengan seorang pemuda Boti. Dari hama tanaman di ladang seperti monyet dan kakaktua. Monyet disana bahkan dapat mencabut singkong dari tanah dan akhirnya orang Boti memelihara anjing untuk mengusir monyet pengganggu.

Malam itu diantar suara alam yang bersahutan, ditemani lampu minyak yang temaram, saya bisa tidur dengan nyenyak sendirian di kamar guest house. Suara angin, serangga, hingga suara ternak membentuk satu konser nyanyian alam yang indah.

Selamat pagi

Setelah disegarkan dengan sarapan singkong rebus, kopi dan keripik pisang, saya berkeliling melihat rumah mereka. Khas sekali rumah mereka, dibuat dari gewang, semacam pohon lontar. Dinding rumah dibuat dari daun pohon gewang, tidak seperti bambu di Jawa. Atap rumah dibuat dari ijuk. Gewang, pohon khas Timor, memang banyak gunanya.

Lopo, rumah tradisional Timor, masih digunakan di Boti seperti daerah Timor lainnya. Bentuknya unik, tanpa jendela dan berpintu rendah.

Hari itu saya juga sempat melihat mereka menenun yang hasilnya mereka pakai sendiri dan mereka jual. Tenun ikat mereka indah, warnanya unik. Proses tenun dimulai dari saat mereka memintal benang, mencelup warna hingga akhirnya menenun yang mereka lakukan bersama-sama.



Sebenarnya masih banyak yang saya mau lakukan, dari pergi ke ladang mereka yang letaknya berjam-jam berjalan kaki sampai mencari burung kakaktua namun sayang waktu membatasi.

Sebagai penggila foto, saya sempat memfoto orang-orang Boti dan sempat berjanji akan mengirimkan foto kepada mereka disana sepulangnya saya dari Boti. Album foto di rumah kepala suku bahkan berisi foto-foto karya Photo voices yang mengadakan photo hunting disana. Bahkan ucapan terima kasih dari beberapa stasiun teve dapat juga dilihat di buku tamu yang tebal

Pulang

Setelah makan siang, diantar motor “lakiâ€? kembali, saya pulang dengan menuju Oenlasi. Lagi-lagi sempat repot dengan jalanan yang aduhai meski pemandangan alam cantik tersaji di depan mata.

Ternyata tidak perlu lama menunggu di Oenlasi untuk mendapatkan bus menuju Kupang. Sempat saya tergoda menjelajah bagian lain dari TTS hingga Timor Leste namun apadaya waktu terbatas dan lupa membawa paspor. Sepertinya jika Tuhan mengijinkan saya akan mengulangi perjalanan ini di TTS.

Catatan :

– Suasana TTS sejuk, tidak panas seperti anggapan orang tentang Timor

– Orang Timor tidak mempunyai budaya menjual makanan jadi sangat sulit mencari warung makan disana, kalaupun ada yang menjual biasanya adalah orang Jawa atau orang pendatang

– Banyak orang Boti bergigi merah karena biasa menguyah sirih.

– Hanya Telkomsel yang bisa dipakai menjelajah Timor Barat (bukan iklan lho)

– Orang Boti memegang teguh adat diantaranya dengan tidak memeluk agama modern. Sampai sekarang kepercayaan asli tetap mereka pegang

– Budaya Indonesia itu kaya sayang sekali kalau kita tidak tahu budaya sendiri.

Akhir kata, selamat menjelajahi Indonesia !!!!!

*) Foto-foto akan menyusul segera ….

Cerita dari Kupang : dari sapi main bola hingga cium hidung



Pernah mendengar sapi main bola? Atau cium dengan beradu hidung? Pernah naik bemo, atau angkot, dengan sound system dengan CD player, remote control, USB input? Pernah melihat kota yang banyak rumah dibangun dengan fondasi batu karang? Kupang memang unik dan tak terlupakan, dan inilah oleh-oleh cerita dari sana.




(foto diatas diambil dari salah satu bukit di Kupang yang memang berbukit-bukit)

Bahasa yang mmm

Kepergian, atau lebih tepat jalan-jalan, ke Kupang m
emberi banyak cerita lucu. Saat pertama kali mendengar mereka berbicara dengan logat yang membuat saya rada termangu-mangu. Satu saat saya hendak membeli sesuatu, si penjual tangkas menjawab,�Sonde ada�. Ooops, untungnya dah belajar istilah kupang, sonde berarti tidak, belakangan saya dengar itu berasal dari kata bahasa Belanda, zonder yang sebenarnya lebih tepat berarti tanpa.

Dan ternyata ada bahasa dan istilah lain yang juga sama-sama lucu,

– penjual bensin yang menulis, 5000 sa…!!!

– seorang saudara bercerita tentang sapi main bola

Ternyata mereka suka sekali menyingkat kata jadi 5000 sa berarti 5000 saja dan sapi main bola berarti saya pigi main bola

Seorang teman bercerita tentang uniknya jawaban orang Kupang saat ia bertanya apa orang atau mungkin juga barang yang ia cari ada, mereka bisa menjawab,� Ada, sedang keluar,� bukannya langsung mengatakan tidak ada.

Selain kata-kata itu masih ada lagi :

Pung = pu = punya

Oe = air (banyak daerah di Kupang bernama depan Oe)

Deng = dengan

Su = sudah

Belakangan saya juga memperhatikan bahasa sehari-hari di Kupang sangat mirip dengan gaya bahasa di Ambon dan Papua (2 daerah yang ingin tapi belum sempat saya kunjungi)

Budaya yang unik

Jika orang-orang di Jawa merasa cukup bersalaman, adalah sangat wajar untuk saling berpelukan dan bercium pipi saat bertemu saudara di Kupang, tidak hanya untuk pria dan wanita atau antara wanita tapi juga untuk pria dan pria. Dan yang bisa buat orang kaget adalah bercium dengan beradu hidung, hehehehe

Untungnya saya sudah pernah mendengar ini jadi tidak kaget saat melakukan hal itu disana.

Bemo yang ajaib dan makanan Kupang

Meski sudah sering mendengar cerita ajaibnya bemo di Kupang yang dihias meriah dan sound system yang luar biasa, saya tetap saja bengong dan takjub saat melihatnya sendiri. Karena di Kupang saya diantar saudara atau teman juga sempat membawa kendaraan sendiri, meski sempat kehilangan orientasi sedikit, saya tidak sempat merasakan indahnya naik bemo dan baru merasakannya di luar Kupang.

Selama sekitar satu jam, saat turun dari ferri di Pantai Baru, Rote, dan menuju Baa, ibukota Rote Ndao, saya duduk di samping supir, dan ya Tuhan, sound systemnya mereknya terkenal, kalau tidak salah Kenwood, mempunyai remote control, memutar musik dengan CD player, meski CD-nya bajakan. Lantas si pendamping sopir sempat juga mengeluarkan flash disk berisi lagu-lagu. Arrrgh, hebat sekali sound system disini bisa mengalahkan mobil pribadi di Jakarta, hehehehehe. Dan memang saya terhibur dan takjub selama satu jam perjalanan dari Pantai Baru ke Baa

Makanan yang sering saya dengar adalah daging sei dan jagung bose dari Kupang dan memang itulah makanan khas yang sempat saya coba. Daging sei enak juga dan memang khas Kupang yang paling banyak dijual dari sapi dan babi. Kalau jagung bose, hehehe itu saya makan saat traveling keluar Kupang di kampung Suku Boti yang jagungnya rasanya unik. Bagaimana tidak unik, saya makan saat traveling sendirian di tengah kampung yang seperti suku Baduy di Banten, menolak kehidupan modern.

Indonesia itu indah, unik, kaya akan budaya dan sebenarnya jauh lebih menarik daripada yang saya dapat bayangkan. Itu kesimpulan saya setelah jalan-jalan di Kupang (dan sekitarnya)

Catatan :

Cerita lengkap dan foto akan menyusul, semoga sempat menulis lagi. Entah kenapa saya sangaaaaaaaat ingin menjelajah Indonesia Timur di masa mendatang, belum lagi alam dan pantainya yang termasuk salah satu yang paling indah yang pernah saya lihat…

Referensi (layak untuk dilihat)

– Wisata kuliner Kupang

http://www.tmore-online.com/tmore/content/rubric/24/238

– Daging Sei

http://flobamora.blog.friendster.com/2005/08/daging-sei-dari-kupang/

– Cerita Sei

http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/16/16045091/makan.sei.di.kupang

My first Dutch Kermis

Kermis, a typical Dutch festival with its fun ride, the thrill, the food and everything, The spirit of festivities is enjoyable and it’s also a must for me. The album here shows the fun atmosphere day and night, btw I do like the canal view at night

This July, Tilburg would also have its biggest Kermis, so this album is just the first installment. Hopefully I would be able to have fun in my own habitat in spite of the "writing process".

PS : It was taken in Leiden

references :

Kermis, (
http://en.wikipedia.org/wiki/Kermesse_(festival))



























Pasar Malam Tong Tong, Den Haag

Inilah pasar malam terbesar di Belanda yang sering disebut Tong Tong yang menyediakan dari pisang goreng seharga 14 ribu, gulai kambing, nasi rames, rokok kretek, krontjong, indorock, bir nasional indonesia hingga mmm guling :-P. Setidaknya itulah yang kami (lihat fotonya disini) santap untuk makan malam.

Selepas acara Stuned di Kedubes, kunjungan ke pasar malam yang terletak di samping Den Haag Centraal Station dengan tiket mahasiswa seharga 9,5 euro ternyata menyenangkan (meski kami tidak bisa dua kali korting karena sudah dapat korting sebagai mahasiswa πŸ˜› )

Demi menuntaskan kelaparan, akhirnya perut dikenyangkan dengan kambing guling, gulai, rendang, bakwan, es teler, sate, pisang goreng dan sate padang. Maaf kalau makannya terasa kalap.

Selesai urusan perut , barulah acara santai dimulai hingga tercetus acara sesi foto kolonial hingga ada yang menjadi nyai, meneer londo, selingkuhan dan mmm anak hilang.

Panggung utama malam itu menawarkan acara krontjong yang bikin tersenyum seperti lagu nina bobok-nya yang bisa dinikmati dengan bir nasional indonesia alias bir bintang…meskipun ada juga softdrink dan bir asli eropa πŸ™‚

Referensi :

– Pasar Malam Besar, web resmi,
http://www.pasarmalambesar.nl/

– Pasar Malam Web,
http://pasarmalam.nl/index.shtml


http://en.wikipedia.org/wiki/Pasar_Malam_Besar


http://nl.wikipedia.org/wiki/Pasar_Malam_Besar

































Cute kids in carnival

These kids are too cute too be true, could you help me to choose the best outfit, the best expression and the cutest kid? Since I do have a problem to choose the cutest one here as well as the best outfit and expression

It was taken in Maastricht, Netherlands, last February, during annual carnival there.

I also managed to put several photos in one frame

so far, the best expression ,for me,is the pink kid, but the best outfit is the girl with pink wig, but what’s your opinion? please vote (different choice is possible)

1. The best outfit

2. The best expression

3. The cutest one

References :

Carnival in Netherlands,
http://en.wikipedia.org/wiki/Carnival

Maastricht,
http://en.wikipedia.org/wiki/Maastricht














Gegar budaya van Nederlands

Pergi pulang balik Belanda – Indonesia – Belanda sempat membuat gegar budaya skala kecil yang tak terduga. Dari toilet paper sampai roti isi, dari mengemudi di kanan hingga jalur sepeda. Bahkan fast food juga membuat saya sedikit kaget.


Pertama kali tiba di Jakarta, rasanya tidak terbayang kalau ada sedikit gegar budaya yang sedikit aneh, saya sempat bingung mencari toilet paper yang tiap hari saya gunakan di Belanda namun ternyata jarang sekali ada di toilet di Indonesia, termasuk di rumah sendiri. Untunglah akhirnya terbiasa dengan cara asli ala Indonesia.


Satu hari saya makan fast food untuk pertama kalinya lagi di Indonesia, McDonalds, yang selalu jadi tumpuan harapan saya di Eropa karena harganya jauh lebih murah dari resto lainnya, maklum hanya dengan 5,5 euro saya bisa makan Big Mac, salad, dan minuman, saat itu saya hampir saja berbahasa Inggris kepada kasir. Entah karena masalah beban pikiran yang begitu menumpuk atau karena masalah disorientasi.

Di hari lain, di jaringan fast food lain, saya nyaris saja membersihkan nampan saya, membuang sampahnya dan meletakkannya di tumpukan nampan bersih. Waduh, gagap budaya lagi, maklum di sini semua harus membersihkan sendiri. Waktu saya belanja di pasar swalayan, saya juga nyaris memasukkan belanjaan saya ke kantong plastik, hingga akhirnya sadar ada petugas khusus yang memasukkan belanjaan ke kantong plastik saya.


Saya baru sadar, Eropa sebagai asal muasal roti ternyata tidak sekreatif orang Indonesia. Beberapa hari setelah tiba, saya mendadak kangen roti Bread Talk, Bread Story atau Holland Bakery, maklum di Jakarta saya sampai bisa makan 3 roti sekaligus waktu pulang kemarin. Disini tidak ada roti isi daging, coklat, pisang, keju de el el. Yang ada hanya roti biasa yang kita buat sendiri. Jadi siapa bilang orang Indonesia tidak kreatif dalam hal makanan.


Gegar makanan juga berlanjut saat makan di resto wok, satu resto masakan china di Tilburg. Saya sudah memesan 4 mangkuk sambal (ukurannya kecil sekali, isinya sambal oelek), untuk saya dan 2 orang teman. Saat memesan lagi, sang pelayan berseru dengan ekspresi penuh terkejut,� Meer????� (lagiiiii?), ooops si pelayan tidak tahu saya tergila-gila sambal dan suka masakan menado yang pedasnya mungkin terasa mengerikan dengan cabai rawitnya.


Setiba pertama kali tiba di Schipol, rasanya kaget melihat cuaca yang cerah dengan matahari yang bersinar dengan hangatnya, tapi juga terkejut melihat seorang anak kecil berkawat gigi eksterior, waduuuh ngeri melihat kawat gigi yang ditunjang bagian eksterior di lehernya, apa karena biaya dokter gigi yang sangat sangat sangat mahal di Belanda? Di Indonesia, rasanya sudah tidak ada lagi yang memakai kawat gigi ini, entah karena tidak tren atau mungkin karena biaya dokter gigi yang lebih murah.


Ini juga mengingatkan saya akan keterkejutan saya melihat teman-teman yang memakai HP Nokia Communicator, memang benar kata orang, di Eropa saya tidak pernah melihat orang memakai HP Communicator. Bahkan para professional di Big Four, dan para pengacara hanya memakai HP yang terlihat sederhana. Yang canggih hanyalah black berry yang mereka pakai, itupun karena biasanya diwajibkan oleh kantor mereka.

Sekeluar dari Schipol, selain sedikit disorientasi dimana saya harus mengemudikan sepeda, di kiri atau di kanan, saya sempat menyangka jalur sepeda yang dicat merah adalah jalur buswaeee. Halaaaah, kok jadi bingung ya?

PS : cerita diatas bukan iklan merek tertentu, cuma kebetulan. Tulisan ini juga dibuat untuk melihat sisi positif dari kepulangan saya ke Indo yang tidak disangka-sangka yang dapat juga mengingatkan saya akan sisi positif itu.

Ganjuran, Yogya, Christ in Javanese Culture Celebration

Some men in Javanese attire sat before the temple and some people sang accompanied with the gamelan orchestra. A few sets of gunungan were also placed next to the altar. It sounds like a typical Javanese celebration? Yup, but this one is a Holy Mass celebration of Ganjuran Parish, Bantul, Yogya, an annual celebration of Javanese culture, religion and thanksgiving expression.

This unique holy mass was situated in the only Jesus Sacred Heart Temple or known as Candi Hati Kudus Yesus in Ganjuran, Bantul, Yogya.

This Hindu-style Temple was built next to the Parish Church, a church complex that was established by a Dutch family who ran the sugar factory that used to be next to the church’s present location. This Dutch family also built some charity ministries from schools until hospitals in Yogya. The name Sacred Heart is used as a devotion to the Sacred Heart. It might inspire this year’s theme : To bless the others after we receive God’s blessing

The temple as well as the church visibly are heavily influenced by the local Javanese culture, regarding the art used for the church and (mainly) the temple

This annual celebration is held on every last Sunday every June




















Cap Go Meh in Bogor’s Chinatown

Cap Go Meh in Bogor, it was the first time seeing the dragon parade at night since the festivities began at around 5 PM. It’s also the first time ever for me to see Tanjidor busker coming to entertain homes in Chinatown. This festival on Suryakencana also gave us a chance for culinary journey though it’s not my first culinary trip on Surken. At that night, I decided to give a try on noodle resto with its special meal, spinach noodle and carrot noodle.





















The Exotic Old City of Semarang

Semarang….

This city is truly like my second hometown for me since I used to visit my grandparents who lived in this city, the capital of Central Java province. Sadly I never paid any attention to the exotic parts of city. But last month on a very long weekend (four consecutive days) I got a chance to visit this city again.

Sam Poo Kong was the first and my priority in my one-day itinerary. Surprisingly, this temple has easy access from the downtown. Use Tugu Muda, the landmark of this city and go to Ungaran or Jatingaleh direction and later turn right before Karyadi Hospital. Go straight on and you could easily find it in the left side of the road. I found this place unique and rich in culture. It was still under construction for more buildings. After succeeding to take some pictures (I adore the Chinese interior and exterior that look cool).

I also paid my very first visit to Toko Oen. It’s a restaurant that has been serving its loyal customer since Dutch colonial era. I ordered an ice cream just because of my curiosity for the ‘ancient’ menu available here. My culinary journey didn’t end here after I heard the Semarang Chinatown that now has its own culinary market. A street is usually closed at night then some hawkers could freely sell their food there. Unfortunately most food are non halal Chinese food though I could also see some hawkers selling local halal food.

Don’t forget the architecture of some old building in the old city. It would be nice object for your photos. Blenduk Church seemed so interesting that I had to stop and take some pictures. Another man also took some pics with his SLR camera at the same time probably that’s the reason he dared to ask a driver to move his car (while I only had a pocket digital camera hehehehe).

Leaning tower in Semarang?

Yup I found it when a friend showed me the tower of Kauman mosque near Johar market. It’s due to the periodic inundation of water in the mosque. Unique? That’s for sure. It’s just one of many unique sides of this city.

Perhaps someday I had to take another city tour in Semarang again. Hopefully….!!